Pola-Pola Korupsi Era Orde Baru, Gurita Bisnis Presiden Soeharto

Buku Monopoli Bisnis Keluarga Cendana karya Dra. Soesilo benar-benar membuka wawasan baru tentang siapa presiden Soeharto. Bagaimana sepak terjangnya bisa bertahta dan berkuasa selama 32 tahun di bumi nusantara. Selama hampir 3 dekade jendral bintang 5 berhasil membangun kerajaan bisnisnya hingga akhirnya runtuh akibat memonopoli hampir semua sektor bisnis, dari bisnis jeruk sampai migas.

Tahun 1998 menjadi akhir karir Soeharto menjadi presiden, negeri sedang mengalami gejolak krisis moneter dan demonstrasi mahasiswa menyuarakan reformasi membuat ia menyerahkan jabatannya kepada Bj. Habibie.

Banyak orang menuduh presiden Soeharto melakukan praktik KKN selama menjabat, ketika presiden Soeharto jatuh dari kursi presiden, saya masih berumur 10 tahun, anak kecil yang belum mengerti politik, di benak saya beliau adalah presiden yang baik, suaranya lembut dan berwibawa. Kini setelah saya dewasa muncul pertanyaan, apakah presiden Soeharto melakukan yang dituduhkan itu (KKN)? 

Gurita KKN yang dilakukan presiden Soeharto mencengkram dari atas sampai bawah, selama 32 tahun praktek itu dilakukan, generasi sekarang mendapatkan warisan keburukan KKN yang sudah mendarah daging di pemerintahan. Praktik suap, korupsi, abuse of power, monopoli, tidak transparan dan lain-lain masih bisa kita temukan saat ini.

Kongkalikong pemerintah dengan pengusaha yang dulu pernah dilakukan era Soeharto masih bisa ditemui era sekarang, bahkan cara kerjanya hampir sama. Pemerintah dan pengusaha bekerja sama meraup keuntungan dari proyek-proyek pembangunan, korbannya adalah rakyat.

Sebagai contoh pengadaan beras impor, ketika stok beras nasional tidak bisa mencukupi seluruh perut rakyat Indonesia. Pemerintah Soeharto membuka kran impor dari Taiwan dan China melalui perusahaan-perusahaan lokal. Beras impor dijual dengan harga tinggi oleh perusahaan, untuk menekan itu pemerintah memberi subsidi diambil dari uang pajak rakyat. Mau tak mau rakyat membeli beras itu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Perusahaan yang diberi wewenang itu rupanya ada anak-anak Soeharto dalam pemegang sahamnya. Di atas meja kelihatan perusahaan itu milik pengusaha Fulan bin Fulan, tapi di bawah meja keluarga cendana menikmati cuan dari impor beras. Dengan margin keuntungan 10% kelak ketika Soeharto jatuh mereka (pengusaha yang bekerjasama dengan pemerintah) menjadi oligarki. 

Metode KKN era orde baru memanfaatkan semua lini, bahkan memanfaatkan kebaikan rakyat Indonesia yang gemar sedekah melalui yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Soeharto. Yayasan yang bersifat sosial membantu panti asuhan, membangun rumah ibadah dan lain-lain ternyata menjadi tempat pencucian uang. 

BUMN-BUMN diminta presiden Soeharto untuk menyisihkan sebagian keuntungan ke yayasan-yayasan itu. Melihat itu masyarakat ikut memberikan bantuan, sehingga yayasan menjadi money grabber. Tidak adanya transparansi dan pucuk pimpinan merupakan orangnya Soeharto, uang itu dimasukan ke bank, seolah-olah dana itu aman, tetapi ternyata bank dan pimpinan yayasan telah bekerja sama. 

Uang yayasan disimpan mendapatkan bunga 20%, tapi uang itu dipinjamkan ke pimpinan yayasan dengan bunga 23%. Pinjaman bank itu digunakan untuk membangun perusahaan dan membeli saham perusahaan milik Soeharto dan kroni-kroninya. Keuntungan dari kenaikan harga saham dan dividen masuk ke kantong Soeharto (bisnis tanpa modal). 

Aksi ini merugikan anggota-anggota yayasan, mereka tidak tahu uangnya digunakan seperti itu. Mereka tidak mendapatkan keuntungan, uang mereka digunakan untuk berbisnis yang mendapat panggung adalah presiden Soeharto karena berhasil membangun rumah ibadah dimana-mana, jejak itu bisa dilihat di kota anda sendiri, rumah ibadah yang telah dibangun melalui dana yayasan biasanya ada prasasti tanda tangan presiden Soeharto.

Hampir semua perusahaan Soeharto dijalankan anak-anak dan cucunya. Seorang anak bisa memiliki 50 perusahaan, saking hebatnya anak Soeharto, 50 perusahaan itu bisa dijalankan sambil balapan mobil. Monopoli perusahaan milik Soeharto diibaratkan kereta api, ketika ia datang tidak bisa dihentikan, “monggo lewat”. Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan rakyat? mereka hanya mendapatkan proyek kelas teri, proyek kelas kakap dilahap anak-anak Soeharto. 

Itu semua hanyalah sebagian kecil KKN era orde baru, yang paling besar adalah Freeport, jika saja JJ Dozy tidak menemukan bijih tembaga di gunung Biji tahun 1963, mungkin kita masih menikmati gunung Biji yang hijau dan rakyat Papua bisa berburu Babi di sana. Berikutnya saya akan membuat artikel khusus tentang korupsi dalam tubuh Freeport dan peran Freeport ikut melanggengkan Soeharto menjabat 32 tahun. 

Belajar dari pengalaman pola-pola KKN di masa lalu, seharusnya kita bisa memperbaiki dan tidak mencontohnya, minimal kita tahu pola KKN jaman dulu, ketika kita mendapati perilaku itu di masa sekarang kita bisa menandai siapa-siapa saja yang berpotensi korupsi. Dengan modal pengetahuan itu, ketika pemilu kita memilih pemimpin bersih yang bisa membuat Indonesia lebih baik. 

Sumber :

  1. Drs. Soesilo, Monopoli Bisnis Keluarga Cendana, Tahun 1998

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started